Sunday, November 27, 2011

Suharni, Rintis Sekolah di Pedalaman Digaji Rp 200 Per Hari

 


PELALAWAN- Suharni (46) menjadi saksi hidup bagaimana pendidikan mulai bergerak di kawasan transmigrasi yang terletak di antara ribuan hektar kebun sawit di Desa Silikuan Hulu, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Riau.
Karena kami bertujuh, jumlah itu akhirnya dibagi tujuh. Satu orang jadi sekitar Rp 200.
Suka duka dialaminya sejak menjadi transmigran pada tahun 1989 di lumbung minyak sawit itu. Di sana, perkembangan pendidikan memang berjalan lambat. Namun, pelan tapi pasti tujuh orang transmigran di Silikuan Hulu akhirnya memutuskan membuat sekolah bagi anak-anak transmigran pada bulan Januari 1990.
Tidak ada gedung sekolah megah, yang ada hanya rumah warga. Mereka pun mengajar tanpa buku teks apalagi alat peraga. "Saat itu didata siapa saja penduduk yang punya latar belakang sekolah guru. Ternyata, ada tujuh orang, termasuk saya," kata Suharni, Jumat (25/11/2011), saat dijumpai di SDN 010 Silikuan Hulu dalam peringatan Hari Guru.
Berdasarkan permintaan para transmigran yang rata-rata berasal dari Pulau Jawa, tujuh orang guru itu sepakat mendirikan sekolah bernama SD Swadaya. Tidak ada dana yang dipungut. Untuk operasionalnya, seluruh warga gotong royong membantu.
"Dua unit rumah warga dijadikan sebagai ruang kelas yang disekat-sekat. Saya ingat dulu hanya punya 11 orang murid di kelas 1," kata wanita asal Gunung Kidul, Yogyakarta ini.
Meski baru berdiri, namun antusiasme orang tua cukup baik. Bahkan, ada orang tua yang memaksakan anaknya masuk meski belum cukup umur. "Ada anak 5 tahun, orang tuanya maksa masuk. Daripada dia main dan diam di rumah, orang tuanya minta sekolah. Apalagi dulu ini masih hutan tidak banyak kegiatan," tuturnya.
Pada saat proses belajar mengajar berlangsung, semuanya serba terbatas. Untuk mengajar hanya ada sebuah papan tulis kapur, meja panjang yang diisi 4-6 siswa, serta bangku. "Tidak ada buku paket, buku-buku kami bawa dari rumah masing-masing. Tidak ada seragam, semua bebas pakai baju rumah," cerita Suharni.
Buku saja tidak ada, apalagi alat peraga. Untuk menceritakan tentang tumbuh-tumbuhan di pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), para guru mengambil contoh dari alam sekitar Silikuan Hulu. Sementara untuk pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), guru-guru hanya menceritakan apa yang diingatnya.
Gaji Rp 200
Usaha dan jerih paya guru-guru di desa Silikuan Hulu ini tidak bisa tergantikan dengan materi. Bayangkan, dalam sehari, guru-guru swadaya ini hanya mendapatkan gaji Rp 200 per hari mengajar.
"Gaji itu didapat dari Indosawit. Waktu itu sekali ngajar dapat Rp 1.500 untuk tiga guru. Karena kami bertujuh, jumlah itu akhirnya dibagi tujuh. Satu orang jadi sekitar Rp 200," ungkap Suharni.
Ketika itu, gaji hanya didapat setiap kali mengajar. Alhasil, ketika libur panjang, Suharni beserta suaminya yang juga guru sama sekali tidak memiliki penghasilan. Dengan kondisi seperti itu, sang suami akhirnya keluar dari sekolah dan beralih profesi sebagai buruh pabrik sawit.
"Keadaan yang memaksa suami saya berhenti jadi guru. Karena tidak mungkin dua-duanya jadi guru, saat libur kami bingung cari uang dari mana?" kenangnya.
Gagal jadi guru di Pulau Jawa
Banyak orang yang bertanya-tanya, kenapa banyak warga yang memilih program transmigrasi dari kota menuju pelosok entah berantah. Hal ini pula yang dirasakan Suharni. Pada tahun 1989, Suharni memutuskan meninggalkan kampung halamannya di Gunung Kidul, Yogyakarta menuju Riau. Keputusannya ini diambil bukan tanpa sebab.
"Dulu saya setahun cari kerja jadi guru di Yogya sama di Bogor semua enggak ada yang terima sampai saya stress harus melamar ke mana lagi," katanya.
Ia lalu mendengar ada program transmigrasi pemerintah "Pir-Trans" di Riau di antara perkebunan sawit. Ide gila Suharni pun muncul. "Saya nekat juga akhirnya ikut program itu karena saya merasa di Jawa sudah terlalu banyak saingan. Sulit untuk sukses," tuturnya.
Tetapi, untuk mengikuti program transmigrasi, Suharni harus sudah menikah. Sementara saat itu, ia masih melajang. Ia lalu mencari jodoh dan menikah sesegera mungkin. Pada bulan Desember 1989, pengantin baru ini berangkat ke Dumai, Riau menggunakan kapal Krakatau II selama empat hari empat malam.
"Benar-benar saya enggak tahu arah. Enggak tahu mau ngapain saya di sana. Enggak tahu kondisinya akan seburuk apa, pokoknya benar-benar nekat," cerita dia.
Mapan
Berbekal semangat juang dan kerja keras Suharni dan suaminya, keluarga ini sekarang sudah hidup mapan dan bahagia bersama dua anak mereka. Dengan kerja keras Suharni dan suami, anak-anak mereka kini sudah menempuh pendidikan unggulan di Yogyakarta yakni di SMA Muhammadiyah dan Universitas Negeri Yogyakarta.
Suami Suharni yang akhirnya beralih dari guru menjadi buruh pabrik sawit bahkan kini sudah berhasil mengelola perkebunan sawit sendiri seluas 2 hektar. Setiap minggunya, kebun sawit mereka bisa menghasilkan 2-3 ton kelapa sawit.
"Saya bersyukur semua keputusan saya tepat pergi dari Pulau Jawa. Kalau saya tetap di sana, mungkin kehidupan kami akan terus merana," tandas Suharni.
Suharni berencana akan tetap mendedikasikan hidupnya sebagai guru di pedalaman Ukui. Jika sudah pensiun, ia berniat akan kembali ke kampung halamannya di kota gudeg.

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Top WordPress Themes